|
Salah seorang biarawan Katolik dari Ordo Fransiskan Provinsi Papua, Yulianus Pawika ketika di intimidasi polisi di Abepura, Kamis |
Sulut_Suarapasema.blogspot.com- Pembubaran paksa Demo Damai Skp Ham Papua menunjukan upaya menutupi ketidak mampuan Kepolisian mengungkap kasus paniai berdara dan 12 kasus lainya.
Jangan pernah katakan ini negara demokrasi jika tidak ada demokrasi di Papua. Jangan pernah katakan bahwa, Negara Kolonial indonesia adalah negara Hukum jika Para penegak hukum menjadi pelaku, dan ada diskriminasi dalam penegakan hukum di Papua. Jangan pernah katakan bahwah kolonial Indonesia menunjung tingi Nilai-nilai HAM, jika tidak penegakan HAM dan para Aprarat negara Tidak pernah menghargai dan menghormati HAM di Papua. Jangan pernah sebut keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Jika tidak ada kedilan di Papua
Pembubaran Paksa Dan penakapan terhadapa masa aksi demo damai menutut segera selesaikan kasus paniai berdara 8 desember 2014, yang dikordinir oleh SKP HAM Papua Pada hari rabu 8 oktober 2015 adalah pembungkaman demokrasi di Papua Barat.
Kepolisian tidak mampu mengusut tuntas para pelakukan yang melakukan pemusnahan terhadap orang melanesia di Papua Barat, kepolisian terus menjaga dan melingdungi pelaku kejahatan yang selalu mengambil nyawa manusia papua, penegak hukum terus membiarkan pelaku berkeliaran di tanah ini. Maka secara tidak langsung aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian bisa dikatakan pelaku kejahatan di Papua. Hal ini bisa kita lihat dengan pembubaran aksi demo damai yang dilakukan SKP HAM tidak ada unsur politik namun Polisi secara paksa membubarkan paksa, karena mereka (POLISI) berusaha menutupi kasus paniai namun ada yang berusaha dan terus mengkampanyekan kasus tersebut sehingga harus dibubarkan karena menjaga nama baik intitusi kepolisian di Papua. Jika kasus ini terus menjuarahakan dengan mempercepat penyelidikan oleh Tim Ad Hoc maka tentu intitusi TNI/POLRI di papua akan diperiksa dan penyelidikan lebih mendalam sehingga kepolisian tidak mau mereka diperiksa, dan hal ini juga mengambarkan ketatakutan pihak aparat terhadap Tim Ad HOC. Oleh TIM Ad HOC oleh sebab itu mereka harus membubarkan aksi demo tersebut dibubarkan paksa, sebab kalau dibiarkan maka ancaman bagi mereka.
Penagkapan terhadap piarawan katolik dan sejumlah Aptivis HAM menujunjukan ketidakmampuan kepolisian untuk mengungkap sejumlah kasus yang terjadi di tanah Papua. Hal ini juga bagian dari trik kepolisian untuk menutupi ketidakmampuan mereka untuk menyelesaikan kasus Paniai tetap, juga kasus lain yang diduga dilakukan oleh kepolisian dan TNI di tanah Papua selama ini.
Kepolisian selalu menkampanyekan dirinya sebagai penegak hukum pengayom pelindung rakyat namun kenyataan berbicara lain. Pelindung rakyat kini menjadi aktor kekerasan terhadap rakyat sipil di Papua dengan kata lain Pagar makan tanaman. Rakyat papua tidak percaya lagi terhadap penegakan hukum di papua. Ada diskriminasi penegakan hukum di Papua, contoh dalam kasus tolikara di media masa dan pihak kepolisian lebih banyak berbicara tentang kebakaran Musolah tetapi 11 orang ditembak dan 1 mengginggal dunia tidak pernah disoroti.
Dari sejumlah kasus yang terjadi baik penegkapan, penyiksaan, penembakan pengerebekan intimidasi dan teror terhadap rakyat papua secara umum dan lebih khusus aktivis di tanah Papua diduga ada keteribatan penegak hukum dalam hal ini intitusi TNI/POLRI di tanah Papua. Karena kasus kasus penembakan yang terjadi di Papua tahun 2014-2015 tidak pernah diusust tuntas oleh kepolisian sebagai penegak hukum.
Dalam catatan saya pada tahun 2014-2015 , sekitar 11 kasus kekerasan dan pembunuhan serta penyiksaan baik yang dilakukan oleh aparat secara terang-terangan maupun pembunuhan misterius polisi tidak peranah mengust tuntas mengungkap pelaku kejahatan di Papua.
Kasus-kasus tersebut adalah :
5. Pembunuhan Misterius yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian yang berpakian pereman atau militer non oragani di Yahukimo pada tanggal 04 maret 2015, salah satu anggota KNPB yahukimo DENI BAHABOL, dibunuh aprat lalu dibuang di sungai dengan diisi dalam karung.
1. Pembunuhan Masal di Paniai 8 desember 2014, menewaskan 4 pelajar dan puluhan lainya terluka,
2. Penembakan terhadap anak kepala suku FIT NAWIPA, Kepala suku umum timika FIT NAWIPA gorong-gorong timika, Polisis menembak Meki Nawipa Umur 19 Tahun , Sabtu 10 januari 2015 malam, pukul 21.45 malam di Gorong-Gorong Timika.
3. Penembakan Pembubaran Paksa penggalangan dana Kemanusiaan Untuk Vanuatu di Yahukimo tanggal 19 Maret 2015, polisi menembak mati Obang Segenil, dan 6 orang lainya terlukan akibat penembakan yang dilakukan kepolisian.
4. Penembakan di Dogiyai satu orang tewas atas nama PODEPA AGAPA 14 anak sekolah dan 7 orang lainya terluka, pada tanggal 26 juni 2015
11. Penculikan dan penyiksaan oleh polisi terhadap 3 pemuda di pante besyi G jayapura pada tanggal 27 Agustus 2015.
6. Penembakan 11 orang di Tolikara dan 1 orang atas nama EDI WANIMBO dan 10 orang lainya terluka akibat timah panas aparat, pada tanggal 17 juli 2015
7. Penembakan terhadap 6 warga sipil di timika Pada tanggal 28 agustus 2015, menewaskan, EMANUEL MAIRIMAU, YULIANUS AKOARE dan 4 orang lainya terluka akibat timah panas TNI
8. Pembunuhan dan penikaman serta pembakaran di organda yang mengakiatkan korban mahasiswa di kamkey pada tanggal 9 juni 2015
9. Pembunuhan terhadap KALEB BAGAU di timika pada tanggal 28 sebtember 2015, dilakukan oleh kepolisian.
10. Pemunuhan YAMES KOGOYA yang dilakukan oleh Militer Non organik kemudia dibawah ke Rumah sakit abe pada tanggal 24 september 2015, diduga dilakukan oleh Militer non organik.
Hal ini juga satu bagian dari genosida dan pemusnahan ras melanesia di Papua barat, dilakukan secara sistematis masif dan terstruktur oleh aprat baik dari TNI/POLRI maupun Militer non organik di Papua Barat.
12. Penagkapan dan penyiksaan terhadap salah satu pemudah di merauke oleh kepolisian pada tanggal 28 september 2015.
Menurut catatan saya sekitar 12 kasus yang menonyol di Papua satu tahun terakhir ini, tidak satu kasus pun kepolisian dapat mengungkapkan pelaku dan mengusus tuntas. Terkesan kasus –kasus ini dibiarkan, sehingga para pelaku terus membunu manusia papua. Kepolisian tidak pernah menyelidiki kasus-kasus ini sebagai penegak hukum dan juga aparat kepolisian sebagai mitra kerja masyarakat seharunya ada upaya pelindugan rakyat harus dilakukan dan para pelaku harus ditangkap dan diadili supaya ada rasa keadilan bagi masyarakat. Namun yang kita lihat hari ini para pelaku terus dipelihara karena ketidakmapuan kepolisian kolial indonesia di papua Barat.
Hanya kebebasan bangsa yang akan mampu menjawab, dan menyembukan luka bati rakyat Papua, karena kolonial indonesia tidak mampu memjamin nasib masa depan orag melanesia Papua Barat. Rakyat Papua jangan anda terlenah dalam hegemoni kolonial indonesia hari ini, karena semua dia lakukan (kolonial) indonesia adalah malapetakan bagai ras malanesia di Papua Barat.
Maka jangan heran jika pada tanggal 8 oktober 2015, lalu aparat kepolisian membubarkan demo damai yang dilakukan oleh SKP HAM papua dibubarkan paksa oleh kepolisian, untuk menutupi ketidak mampuan mereka.
Jangan pernah katakan ini negara demokrasi jika tidak ada demokrasi di Papua. Jangan pernah katakan bahwa, Kolonial indonesia negara Hukum jika Para penegak hukum menjadi pelaku, dan ada diskriminasi dalam penegakan hukum di Papua. Jangan pernah katakan bahwah kolonial Indonesia menunjung tingi Nilai-nilai HAM, jika tidak penegakan HAM dan para Aprarat negara Tidak pernah menghargai dan menghormati HAM di Papua. Jangan pernah sebut keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Jika tidak ada kedilan di Papua. (suara Pasema).
0 komentar:
Posting Komentar