Senin, 19 Oktober 2015

Ketika Liput berita Tetang Pelanggaran HAM dan Genosida di Papua Aarat Selalu  Mengkrimilisasi Wartawan



Vanimo-Suarapasema.blogspot.comSekertaris Umum Komite Nasioanal Papua Barat (KNPB) Pusat Ones Nesta Suhuniap menghimbau kepada rakyat Papua dengan tutupnya Ruang Demokrasi bagi rakyat Papua untuk menyampaikan pendapat dimuka umum dan Tutupnya akses Jurnalis asing masuk ke Papua serta diskriminasi terhadap orang papua, Maka Mengajak kepada orang Papua menjadikan Media sosial tempat untuk kita berkampaye Papua Merdeka”.Tulis Ones Suhuniap dalam Pesan yang di Terima media Suarapasema.blogspot.com, Jumat (16/10/2015) Melalui Email.
Kata Ones Suhuniap “Facebook, Twiteer, Intagram, Google, Blogger, BBM, Lindkelin Youtobe, Website dan media sosial lainya, Sangat berguna untuk mengetahui perkembangan dunia maupun Ilmu pengetahuan yang belum pernah kita pelajari sebelumya dari Pendidikan kolonial Indonesia selama 54 Tahun. Mengunakan media sosial banyak manfaat yang kita dapatkan dan kita bisa mengetahui setiap peristiwa yang terjadi di Tanah Papua dari Sorong sampai Merauke”.
“Orang Papua pentingnya menulis terutama kepada Mahasiswa dan Pemuda untuk membangun pemahaman dan membagikan informasi-informasi yang akurat kepada Dunia Internasional dari setiap pelanggaran HAM dan Genosida di Papua Barat, Melihat dengan poisisi kita orang papua kita jangan jadikan media sosial tempat untuk melampiaskan emosi, cari jodoh dan bergosip di media saja tetapi kita berjuang untuk Papua juga”.Ujar Nesta
Nesta Suhuniap juga mengajak kepada aktvis Papua Merdeka di Tanah air Sorong sampai Merauke, Dari Ternate Sampai Bali maupun dimana saja berada jangan kita membuang waktu dan kesempatan yang ada. Tetapi gunakan media sosial untuk memberikan kontribusi terhadap perjuangan Papua merdeka dan selamatkan Manusia Ras Melanesia di Papua Barat yang sedang menuju pada kepunahan di Daerah Sendiri. Jelas Nesta.
Diam dan tunduk dibawah kaki kolonial Indonesia menjadi penghianat maka itu mari Kita bangkit melawan kolonial Indonesia dengan memanfaatkan kesempatan dan andalkan bakat masing-masing pribadi untuk mengkampayekan Papua merdeka dengan kerja-kerja Individu maupun Universal? itu Pekerjaan Rumah yang harus dilakukan oleh semua orang Papua”. Kata Nesta. (Suara Pasema).

Rabu, 14 Oktober 2015

Adrian Pereira, Wakil Presiden Pax Romana Asia Pasific.

Papua-imipasulut.blogspot.com- Pax Romana Asia Pasific: Indonesia tidak punya komitment untuk hak asasi manusia di Papua Barat.

Setiap orang memiliki hak untuk berorganisasi, menyampaikan pendapat dan bereskpresi sebagaimana di atur dalam kovenan hak sipil dan politik dari Perserikatan Bangsa Bangsa dan juga dijamin dalam Undang Undang Republik Indonesia, tapi tidak diberlaku di tanah Papua.

Pada tanggal 8 Oktober 2015, sejumlah mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam  kelompok SKP HAM disiksa  oleh pihak Kepolisisan POLDA Papua ketika aparat Kepolisian melakukan pembubaran paksa disaat massa aksi sedang melakukan aksi damai menuntuk proses penyelesaian kasus Paniai Berdarah pada 8 Desember 2014 silam. Sekitar sembilan belas orang telah disiksa dan ditahan oleh pihak Kepolisian Polda Papua. Aparat Kepolisian Polda Papua beralasan bahwa massa aksi tidak memiliki ijin dari pihak Kepolisian untuk aksi damai.

Menyikapi peristiwa pembubaran, penangkapan, dan penyiksaan beberapa mahasiswa dan beberapa frater dari Ordo Fransiskan dan OSA oleh aparat kepolisian Polda Papua, maka kami Pax Romana Asia Pasific - sebagai Asosiasi persatuan profesional dan intelektual Katolik international yang bertujuan untuk menciptaptakan dunia yang damai, adil dan berkelanjutan, dan diakui oleh Takhta Suci (Vatikan) danaktif dalam jaringan masyarakat sipil internasional seperti Konferensi Non-Governmental Organizations. Ini memiliki hubungan konsultatifdengan PBB mengutuk dengan tegas tindakan pihak kepotilisan. Kami menilai bahwa aparat kepolisian telah melakukan pelanggaran terhadap hukum dan ham, khususnya hak untuk bebas berbicara dan berpendapat di muka umum sesuai diatur dalam kovenan hak-hak sipil politik dan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, secara khusus dalam UU No. 9 tahun 1998. Adrian Pereira, Wakil Presiden Pax Romana untuk wilayah Asia dan Pasifik menyetakan turut prihatian atas semakin memburuknya praktek demokrasi di tanah Papua. "Kami melihat bahwa praktek Demokrasi di Papua semakin memburuk. Tidak membaik, meskipun Indonesia kini memiliki Presiden dari sipil," tegas Adrian Pereira. Lebih lanjut, Adrian Pereira menegaskan bahwa kini ada di tanah Papua ada begitu banyak orang ditangkap dan dipenjarahkan tanpa proses hukum yang adil dan berpihak pada kebenaran. "Indonesia telah keliruh, bahkan salah, dalam menyelesaikan konflik di tanah Papua. pendekatan pola militer yang masih diterapkan oleh Pemerintah Indonesia menjadi masalah besar untuk kehidupan berdemokrasi di tanah Papua. Peristiwa pada tanggal 8 October 2015 menjadi gambaran terbaru untuk kita semua bahwa Pemerintah Indonesia tidak menjalankan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia di tanah Papua."

Sementara menurut Anne Beatrice, koordinator Program Pax Romana Asia - pasific untuk Papua menegaskan bahwa sudah saatnya pihak Pemerintah Indonesia memberlakukan prinsip-prinsip demokrasi dan ham di tanah Papua dengan membebaskan wartawan asing dan pekerja hak asasi international untuk bekerja di tanah Papua tanpa melalui clearing house yang dibentuk oleh Pemerintah. "Joko Widodo telah menyatakan untuk membuka akses kepada wartawan asing untuk meliput di Papua, tapi mengapa masih ada "clearning hause" untuk para wartawan dan pekerja ham. Ini tidak dibenarkan", tegas Anne. Lebih lanjut, "Kami juga mendapat kabar bahwa hari ini, 9 Oktober 2015, seorang aktivis KNPB atas nama Agus Kossay telah ditahan oleh aparat keamanan terkait dengan aktivitasnya mendampingi wartawan asing asasl Prancis ketika melakukan liputan di Okhika, Pegunungan Bintang, Papua", tegasnya.

Oleh karena itu, Pax Romana Asia Pasific menilai bahwa Pemerintah Indonesia tidak  memiliki komitmen untuk melindungi, mempromosikan dan memulihkan hak asasi orang asli Papua.

Salah seorang biarawan Katolik dari Ordo Fransiskan Provinsi Papua, Yulianus Pawika ketika di intimidasi polisi di Abepura, Kamis 


Sulut_Suarapasema.blogspot.com- Pembubaran paksa Demo Damai Skp Ham Papua menunjukan upaya menutupi ketidak mampuan Kepolisian mengungkap kasus paniai berdara dan 12 kasus lainya.



Jangan pernah katakan ini negara demokrasi jika tidak ada demokrasi di Papua. Jangan pernah katakan bahwa, Negara Kolonial indonesia adalah negara Hukum jika Para penegak hukum menjadi pelaku, dan ada diskriminasi dalam penegakan hukum di Papua. Jangan pernah katakan bahwah kolonial Indonesia menunjung tingi Nilai-nilai HAM, jika tidak penegakan HAM dan para Aprarat negara Tidak pernah menghargai dan menghormati HAM di Papua. Jangan pernah sebut keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Jika tidak ada kedilan di Papua

Pembubaran Paksa Dan penakapan terhadapa masa aksi demo damai menutut segera selesaikan kasus paniai berdara 8 desember 2014, yang dikordinir oleh SKP HAM Papua Pada hari rabu 8 oktober 2015 adalah pembungkaman demokrasi di Papua Barat.

Kepolisian tidak mampu mengusut tuntas para pelakukan yang melakukan pemusnahan terhadap orang melanesia di Papua Barat, kepolisian terus menjaga dan melingdungi pelaku kejahatan yang selalu mengambil nyawa manusia papua, penegak hukum terus membiarkan pelaku berkeliaran di tanah ini. Maka secara tidak langsung aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian bisa dikatakan pelaku kejahatan di Papua. Hal ini bisa kita lihat dengan pembubaran aksi demo damai yang dilakukan SKP HAM tidak ada unsur politik namun Polisi secara paksa membubarkan paksa, karena mereka (POLISI) berusaha menutupi kasus paniai namun ada yang berusaha dan terus mengkampanyekan kasus tersebut sehingga harus dibubarkan karena menjaga nama baik intitusi kepolisian di Papua. Jika kasus ini terus menjuarahakan dengan mempercepat penyelidikan oleh Tim Ad Hoc maka tentu intitusi TNI/POLRI di papua akan diperiksa dan penyelidikan lebih mendalam sehingga kepolisian tidak mau mereka diperiksa, dan hal ini juga mengambarkan ketatakutan pihak aparat terhadap Tim Ad HOC. Oleh TIM Ad HOC oleh sebab itu mereka harus membubarkan aksi demo tersebut dibubarkan paksa, sebab kalau dibiarkan maka ancaman bagi mereka.

Penagkapan terhadap piarawan katolik dan sejumlah Aptivis HAM menujunjukan ketidakmampuan kepolisian untuk mengungkap sejumlah kasus yang terjadi di tanah Papua. Hal ini juga bagian dari trik kepolisian untuk menutupi ketidakmampuan mereka untuk menyelesaikan kasus Paniai tetap, juga kasus lain yang diduga dilakukan oleh kepolisian dan TNI di tanah Papua selama ini.

Kepolisian selalu menkampanyekan dirinya sebagai penegak hukum pengayom pelindung rakyat namun kenyataan berbicara lain. Pelindung rakyat kini menjadi aktor kekerasan terhadap rakyat sipil di Papua dengan kata lain Pagar makan tanaman. Rakyat papua tidak percaya lagi terhadap penegakan hukum di papua. Ada diskriminasi penegakan hukum di Papua, contoh dalam kasus tolikara di media masa dan pihak kepolisian lebih banyak berbicara tentang kebakaran Musolah tetapi 11 orang ditembak dan 1 mengginggal dunia tidak pernah disoroti.

Dari sejumlah kasus yang terjadi baik penegkapan, penyiksaan, penembakan pengerebekan intimidasi dan teror terhadap rakyat papua secara umum dan lebih khusus aktivis di tanah Papua diduga ada keteribatan penegak hukum dalam hal ini intitusi TNI/POLRI di tanah Papua. Karena kasus kasus penembakan yang terjadi di Papua tahun 2014-2015 tidak pernah diusust tuntas oleh kepolisian sebagai penegak hukum. Dalam catatan saya pada tahun 2014-2015 , sekitar 11 kasus kekerasan dan pembunuhan serta penyiksaan baik yang dilakukan oleh aparat secara terang-terangan maupun pembunuhan misterius polisi tidak peranah mengust tuntas mengungkap pelaku kejahatan di Papua.

Kasus-kasus tersebut adalah :
5. Pembunuhan Misterius yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian yang berpakian pereman atau militer non oragani di Yahukimo pada tanggal 04 maret 2015, salah satu anggota KNPB yahukimo DENI BAHABOL, dibunuh aprat lalu dibuang di sungai dengan diisi dalam karung.
1. Pembunuhan Masal di Paniai 8 desember 2014, menewaskan 4 pelajar dan puluhan lainya terluka, 2. Penembakan terhadap anak kepala suku FIT NAWIPA, Kepala suku umum timika FIT NAWIPA gorong-gorong timika, Polisis menembak Meki Nawipa Umur 19 Tahun , Sabtu 10 januari 2015 malam, pukul 21.45 malam di Gorong-Gorong Timika. 3. Penembakan Pembubaran Paksa penggalangan dana Kemanusiaan Untuk Vanuatu di Yahukimo tanggal 19 Maret 2015, polisi menembak mati Obang Segenil, dan 6 orang lainya terlukan akibat penembakan yang dilakukan kepolisian. 4. Penembakan di Dogiyai satu orang tewas atas nama PODEPA AGAPA 14 anak sekolah dan 7 orang lainya terluka, pada tanggal 26 juni 2015
11. Penculikan dan penyiksaan oleh polisi terhadap 3 pemuda di pante besyi G jayapura pada tanggal 27 Agustus 2015.
6. Penembakan 11 orang di Tolikara dan 1 orang atas nama EDI WANIMBO dan 10 orang lainya terluka akibat timah panas aparat, pada tanggal 17 juli 2015 7. Penembakan terhadap 6 warga sipil di timika Pada tanggal 28 agustus 2015, menewaskan, EMANUEL MAIRIMAU, YULIANUS AKOARE dan 4 orang lainya terluka akibat timah panas TNI 8. Pembunuhan dan penikaman serta pembakaran di organda yang mengakiatkan korban mahasiswa di kamkey pada tanggal 9 juni 2015 9. Pembunuhan terhadap KALEB BAGAU di timika pada tanggal 28 sebtember 2015, dilakukan oleh kepolisian. 10. Pemunuhan YAMES KOGOYA yang dilakukan oleh Militer Non organik kemudia dibawah ke Rumah sakit abe pada tanggal 24 september 2015, diduga dilakukan oleh Militer non organik.
Hal ini juga satu bagian dari genosida dan pemusnahan ras melanesia di Papua barat, dilakukan secara sistematis masif dan terstruktur oleh aprat baik dari TNI/POLRI maupun Militer non organik di Papua Barat.
12. Penagkapan dan penyiksaan terhadap salah satu pemudah di merauke oleh kepolisian pada tanggal 28 september 2015.

Menurut catatan saya sekitar 12 kasus yang menonyol di Papua satu tahun terakhir ini, tidak satu kasus pun kepolisian dapat mengungkapkan pelaku dan mengusus tuntas. Terkesan kasus –kasus ini dibiarkan, sehingga para pelaku terus membunu manusia papua. Kepolisian tidak pernah menyelidiki kasus-kasus ini sebagai penegak hukum dan juga aparat kepolisian sebagai mitra kerja masyarakat seharunya ada upaya pelindugan rakyat harus dilakukan dan para pelaku harus ditangkap dan diadili supaya ada rasa keadilan bagi masyarakat. Namun yang kita lihat hari ini para pelaku terus dipelihara karena ketidakmapuan kepolisian kolial indonesia di papua Barat.
Hanya kebebasan bangsa yang akan mampu menjawab, dan menyembukan luka bati rakyat Papua, karena kolonial indonesia tidak mampu memjamin nasib masa depan orag melanesia Papua Barat. Rakyat Papua jangan anda terlenah dalam hegemoni kolonial indonesia hari ini, karena semua dia lakukan (kolonial) indonesia adalah malapetakan bagai ras malanesia di Papua Barat.

Maka jangan heran jika pada tanggal 8 oktober 2015, lalu aparat kepolisian membubarkan demo damai yang dilakukan oleh SKP HAM papua dibubarkan paksa oleh kepolisian, untuk menutupi ketidak mampuan mereka. 

Jangan pernah katakan ini negara demokrasi jika tidak ada demokrasi di Papua. Jangan pernah katakan bahwa, Kolonial indonesia negara Hukum jika Para penegak hukum menjadi pelaku, dan ada diskriminasi dalam penegakan hukum di Papua. Jangan pernah katakan bahwah kolonial Indonesia menunjung tingi Nilai-nilai HAM, jika tidak penegakan HAM dan para Aprarat negara Tidak pernah menghargai dan menghormati HAM di Papua. Jangan pernah sebut keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Jika tidak ada kedilan di Papua. (suara Pasema).


SEJARAH IMIPA?

IMIPA Berdiri Pada

Apa Itu IMIPA?

Imipa adalah dimana suatu Wadah Sosial yang Menghimpun Semua Mahasiswa Asal Papua yang ada di kota studi Sulawesi Utara. Kepanjangan dari IMIPA : Ikatan mhasiswa Indonesia Papua. Sekertariat Terleatak di Kleak Bahu, Kamasan V Manado Depan Gereja Peniel.

Visitor In Blog IMIPA SULUT

Popular Posts

Recent Posts

Terjemahkan

Berita Yang Dikuti

Pelajaran dan Berita Lainnya Disini